Rabu, 01 September 2010

HADIS DHO'IF

أَنَا مَدِيْنَةُ العِلْمِ وَعَلِى بَابُهَا
Saya (Rasulullah) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.

Penulis pernah mendengar ungkapan di atas dinyayikan dalam lirik sebuah sya’ir berbahasa Arab yang dilagukan.
Hadis di atas diyakini oleh kalangan syi’ah dan termasuk di antara hadis yang dijadikan dasar untuk bersikap ghuluw terhadap shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Ada juga yang ingin mendapatkan kemudahan dalam belajar, hadis tersebut dijadikan dasar untuk bertawassul kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu dengan mengirimkan bacaan al-Fatihah kepadanya. Wallahul musta’an

Dari mana asal dan status hadis ini?
Dalam Jami’ul Ahadits 7/36 nomor 5741, Al-Imam as-Suyuthi menjelaskan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Ma’rifah dari Ali, At-Tirmidzi 5/637 nomor 3723, dan berkata; gharib mungkar.
Dalam versi lain nomor 5742; أنا مدينة العلم وعلى بابها فمن أراد العلم فليأت الباب (saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Maka barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu maka datanglah ke pintunya), yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari jalur Jabir (3/138 nomor 4639) dan dari Ibnu Abbas (3/137 nomor 4637), al-Khotib (7/172) dan Ibnu ‘Adi (3/412 tarjamah 840).
Dalam versi lain menurut Jami’ul Ahadits nomor 5743;
أنا مدينة العلم وعلى بابها فمن أراد العلم فليأته من بابه
Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Maka barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu maka datangilah ilmu dari pintunya
Hadis itu diriwayatkan at-thabrany (11/65 nomor 11061) dan dikomentari al-Haitsamy (9/114); di dalam sanad hadis itu terdapat perawi bernama Abdussalam bin Sholeh al-harawy yang dho’if. Hadis di atas juga diriwayatkan oleh al-hakim (3/137 nomor 4637). Dalam Majmu’ Zawaid yang ditahqiq oleh al-Mu’allimy dijelaskan bahwa hadis di atas maudhu’, dicantumkan oleh Ibnul Jauzy dalam al-maudhu’at 1/350, sebagaimana pula al-‘Uqaily mencantumkannya dalam ad-Dhu’afa dan Ibnu Hajar dalam al-Mizan, Ibnu Hibban dalam al-Majruhin, serta as-Suyuthi dalam al-Lalyi). Imam as-Sakhawy dalam al-maqoshid al-Hasanah hal. 54 menjelaskan panjang lebar tentang berbagai versi hadis di atas dan pendapat para ulama hadis tentang status kedho’ifan dan kepalsuannya. Di antaranya Imam al-Bukhari berkomentar; sesungguhnya hadis tersebut tidak memiliki sisi yang shohih. Demikian pula Imam as-Suyuthi dalam ad-duror (hal.3) menyebutkan secara ringkas komentar para ulama hadis seperti; At-Tirmidzi berkata: mungkar, demikian pula Imam Bukhari. Sementara al-Hakim yang menilai shohih dikomentari langsung oleh Imam adz-Dzahabi dengan perkataan beliau; bahkan hadis ini palsu. (penilaian al-Hakim sering dikritik oleh para ulama hadis karena terlalu gampang dan keliru dalam menilai shohih suatu hadis). Perawi-perawi yang meriwayatkan hadis tersebut dalam berbagai versi sanad dan matan adalah perawi yang dho’if dan maudhu’ . lihat al-Fawaid al-majmu’ah oleh Imam as-Syaukany yang ditahqiq oleh al-Mu’allimy hal, 166-167 nomor hadis 51-52. Lihat pula dalam tadzkiratul maudhu’at hal. 95, takhrij ahadits al-Ihya’ 4/330 nomor 1830, Ahadits al-Qoshshos 1/78, Asnal Matholib hal. 92, An-Nukhbah al-Bahiyah fil Ahadits al-Makdzubah ‘ala Khairil bariyyah susunan Muhammad al-Amir al-Kabir al-maliki hal 37, Al-Lu’lu’ al-maushu’ fima la Ashla Lahu aw bi Ashlihi maudhu’ tulisan Abul Mahasin Muhammad bin Khalil al-Qowaqojy dan ditahqiq Fawwaz Ahmad Zamroly hal. 49.

Jumat, 27 Agustus 2010

Siksa Kubur di Bulan Ramadhan

Pertanyaan

Apakah bln ramdan siksa kubur berhenti, n apakah yg mengglng (meninggal-pen) di bln tdk d siksa, pdhl katax 7 langkah dr org yg mengantr jenazah langsng d siksa. Syukron.

Jawaban

Masalah adzab kubur dan kenikmatannya adalah perkara yang ghaib yang hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu. Tidak ada ruang ijtihad pribadi dan berpendapat. Kewajiban kita mengimani berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadis-hadis yang shohih. Setelah diteliti dalam berbagai kitab-kitab aqidah dan kitab-kitab hadis baik kutub sittah maupun tis’ah, kitab-kitab al-jawami’, kitab-kitab sunan, musnad, al-majami’, al-muwatho’, kitab-kitab al-ilal was su’alat, sampai kitab-kitab muskyilat wa ghoroibul hadis dan takhrij al-ahadits yang jumlahnya lebih dari 300 kitab (al-Maktabah asy-Syamilah al-Isdar 3.32), tidak ditemukan dalil dan riwayat yang shohih tentang diringankannya atau dihentikannya adzab kubur atau tidak diadzabnya orang yang meninggal dunia pada bulan Ramadhan. Memang ada keterangan dalam Kitab “Bariqah Mahmudiyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah 1/427 dan Kitab Faidh al-Qodir 4/408 yang mengutip dari Kitab “Bahr al-Kalam” bahwa adzab kubur dihentikan setiap hari jum’at dan Bulan Ramadhan. Namun, pernyataan penulis “Bahr al-Kalam” ini tanpa disertai dalil. Al-Imam Ibnu Rajab dalam “Ahwal al-Qubur” 1/105 dalam sub judul “Hal yurfa’ al-‘adzab fi ba’di al-Auqat ‘an ahlil qubur” secara ringkas sekali menulis “terkadang adzab kubur dihentikan pada beberapa bulan yang mulia, telah diriwayatkan dari Anas bin Malik dengan sanad yang dho’if (lemah) bahwa adzab kubur atas orang yang meninggal dihentikan pada bulan Ramadhan, demikian pula fitnah kubur ditiadakan bagi orang yang mati pada hari Jum’at atau malam jum’at”. Ibnu Rajab sendiri menyebut riwayat yang berupa atsar (perkataan shahabat, bukan hadis Nabi) tersebut ternyata dho’if (lemah) sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Demikian pula hadis yang diklaim diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib yang bertanya kepada Nabi SAW tentang keutamaan tarawih di bulan Ramadhan, di antaranya disebutkan: Pada malam pertama Ramadhan, orang beriman dibersihkan dosanya seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya, pada malam kedua diampuni dosa kedua orangtuanya jika keduanya mukmin, --dst sampai--... dan pada hari dua puluh lima, Allah meniadakan adzab kubur darinya... Namun hadis ini pula adalah hadis palsu (maudhu’) yang tidak pantas dijadikan dalil dan hujjah dalam masalah ini (lihat Arsyif Multaqo Ahl al-hadits 1/6437 Al-maktabah asy-Syamilah).

Kesimpulanya: tidak ada keterangan yang shohih yang mengaitkan adzab kubur dengan bulan Ramadhan. Adapun tentang adzab kubur, Ibnul Qoyyim menyebutnya ada dua macam, yaitu pertama, adzab yang terus menerus bagi orang-orang kafir dan sebagian pelaku maksiat. Kedua adzab yang terputus (tidak terus-menerus) yaitu bagi orang yang ringan dosa/maksiatnya (lihat Faidh al-Qodir 4/309). Sebagai catatan juga; sepengetahuan kami, tidak ada keterangan dalil bahwa adzab kubur ditimpakan setelah langkah ketujuh dari pengantar jenazah, sebagaimana yang disebutkan oleh penanya. Wallahu Ta’ala A’lam

BACAAN WITIR

PERTANYAAN

Ustd, mau nax: knp d rakaat trakhr witir qt hrus bc 3 surah trakhir alqur’an skaligus? Mhn d jelskn ustd n jazkmllh.

Jawaban

Ketiga surat itu dibaca ketika witir karena demikianlah yang disunnahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW (Imam Nawawi dalam Al-Adzkar 1/73). Dalam hadis riwayat Ubay bin Ka’ab ra, menceritakan bahwa dalam sholat witir, Rasulullah SAW membaca QS. Al-A’la pada rakaat pertama, QS. Al-Kafirun pada rakaat kedua dan QS. Al-Ikhlas pada rakaat ketiga (HSR. Ahmad 3/406, 407, Abu Dawud 2/132-133, An-Nasa’i 3/235-236, At-Tirmidzi no. 462-463, juga Ibnu Majah, Al-Hakim dan Ibnu Hibban). Terkadang Beliau SAW menambahkan dengan bacaan QS. Al-Falaq dan An-Nas (HR. An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shohih). Terkadang dalam salah satu rakaat sholat witir membaca 100 ayat dalam QS. An-Nisa (Lihat Shifat Sholat Nabi oleh Syaikh Muh. Nashiruddin al-Albani hal. 122 Asy-Syamilah).
Di samping itu, jika kita kaji, masing-masing ketiga surat tersebut memiliki fadhilah (keutamaan) yang besar, misalnya Al-Ikhlas setara dengan sepertiga al-Qur’an, sementara al-mu’awidzatain (QS. Al-Falaq dan An-Nas) adalah dua surat terbaik di antara yang dibaca oleh manusia (sabda Nabi kepada Uqbah bin Amir ra). Demikian pula kandungan maknanya yang mengajarkan konsep tauhid, perlindungan diri kepada Allah dari berbagai jenis kejahatan dan keburukan, dll.

Baca Novel pada Bulan Ramadhan

Pertanyaan

Ustd bgmn hukumnx kalo qt bc novel it tdk bleh krn novel mmbwt qt brkhayl krn memng yg qt bc adlh khyalan pengarng aj, mhn d jelskn dg dalil kalo ad ustd (ayat-hadst)

Jawaban

Sebenarnya tidak bisa dihukumi mutlak bahwa seluruh hayalan itu tercela dan terlarang. Hal itu bergantung kapan, dimana dan hal apa yang dikhayalkan. Adapun cerita khayalan (fiksi) seperti dalam novel para ulama berbeda pendapat. Dalam fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ nomor 6252 menjawab pertanyaan; bolehkah menyusun suatu cerita fiksi (khayalan) dimana realitas yang diceritakan adalah bohong, kemudian disajikan untuk anak-anak untuk diambil pelajaran (ibroh)? Maka dijawab bahwa menulis cerita-cerita dusta hukumnya haram. Dalam kisah-kisah Al-Quran dan hadis Nabi dan selainnya terdapat kisah-kisah nyata yang cukup untuk dijadikan ibrah dan nasehat keteladanan yang baik.
Sementara itu, para ulama lain misalnya Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin dalam “Liqo’at al-bab al-Maftuh 9/164, ditanya tentang kisah-kisah hayalan dan didramakan, beliau menjawab: Menurut saya, jika cerita-cerita tersebut menjelaskan solusi permasalahan dan tidak terkait dengan individu tertentu sehingga dapat kita nilai bahwa itu kedustaan (terhadap orang itu), maka cerita-cerita itu tidak mengapa (la ba’sa), karena hal itu hanya suatu perumpamaan untuk diambil i’tibarnya. Maka hal ini tidak apa-apa (boleh)”. Pendapat senada difatwakan oleh Syaikh ‘Atiyah Shaqr (Fatawa al-Azhar 10/260, Mei 1997 ) dan lihat pula fatwa DR. Abdullah al-Faqih (Markaz al-fatawa nomor 51864, Al-Maktabah Asy-Syamilah).
Jika merujuk penjelasan DR. Abdullah al-Faqih bahwa kedustaan adalah memberitakan tentang sesuatu yang menyelisihi realitas yang sebenarnya terjadi, padahal yang membawa berita tahu keadaan sebenarnya (memutarbalikkan fakta) dan dia sengaja melakukannya. Maka kita katakan, cerita dalam novel islami misalnya hanyalah cerita perumpamaan kehidupan dan bukan suatu berita/riwayat yang dapat dinilai sebagai kabar dusta atau kabar benar. Dalam ‘urf (kebiasaan umum), cerita novel fiksi telah dimaklumi publik sebagai khayalan pengarangnya. Ketika membaca novel fiksi, pembacanya sadar bahwa yang dibacanya adalah imajinasi pengarangnya dan dia tidak merasa bahwa itu adalah kedustaan dan penipuan pengarang atas dirinya. Kecuali, pengarangnya menegaskan novelnya sebagai kisah nyata padahal tidak sesuai dengan realita sebenarnya, maka hal ini jelas kedustaan yang dilarang.
Kesimpulannya, tidak mengapa membaca novel selama isinya islami, dan ada hal-hal yang bermanfaat untuk pelajaran/informasi, tidak mengandung hal-hal yang bertentangan aqidah dan syari’at Islam, tidak memutar-balikkan fakta yang sebenarnya, serta tidak untuk tujuan-tujuan buruk dan menyimpang. Walaupun membaca novel islami diperbolehkan, namun, hendaknya tidak berlebihan dan hendaknya memilih aktivitas yang lebih bermanfaat untuk mengisi waktu luang.

Bolehkah sholat malam setelah Tarawih ??

Pertanyaan :
 
Ustd ane msh bingung apkh d buln rmdhan slat tarwih it trsmk shlat mlam, jd kalo udh tarwh ga perlu slat mlm lg? Mhon pnjelsanx ustd, jzkmlh.


 
Jawaban

Para ulama menjelaskan bahwa sholat tarawih adalah sholat malam (sholat lail) atau tahajjud yang dikerjakan di bulan Ramadhan. Tidak ada perbedaan sama sekali di antara keduanya (lihat Maushu’ah al-Fiqhiyah 2/9630 & Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Munajjid, www.islam-qa.com, sual no. 2730). Sebenarnya, kata at-Tarawih adalah bentuk jamak (plural) dari kata tarwihah yang artinya istirahat untuk menghilangkan capek dan kelelahan. Sholat lail di bulan ramadhan dinamakan sholat tarawih karena kebiasaan generasi terdahulu (salaf) memperlama berdiri membaca berjuz-juz Al-Qur’an dalam setiap rakaatnya, serta lama ruku dan sujudnya, kemudian duduk istirahat setiap selesai mengerjakan sholat 2 atau 4 rakaat. Dengan demikian, orang yang telah mengerjakan sholat tarawih berarti dia telah mengerjakan sholat lail di Bulan Ramadhan.
Namun, tidak mengapa, kalau antum sudah mengerjakan sholat tarawih kemudian ingin menambah lagi sholat lail di akhir malam. Misalnya antum ikut berjama’ah bersama imam di masjid yang 11 rakaat kemudian ingin menambah menjadi 20 rakaat sebagaimana madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali, atau 36 rakaat menurut madzhab Maliki. (Al-Sarkhosy dalam al-Mabsuth 2/145, Ibnu Qudamah dalam al-Mughny 1/457, An-Nawawy dalam al-Majmu’ 4/31). Dalam ikhtilaf (perbedaan pendapat para ulama) tentang jumlah rakaat tarawih,terdapat keleluasaan untuk memilih, karena masing-masing memiliki dalil-dalil yang kuat, bahkan Imam Ahmad menyatakan bahwa (jumlah rakaat) tidak ada pembatasan yang tauqifi (pasti dengan dalil qoth’i). Banyak-sedikitnya rakaat bergantung lama-cepatnya setiap rakaat (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al-Ikhtiyarat hal. 64). Imam As-Suyuthi menjelaskan: yang terdapat dalam hadis-hadis yang shohih maupun hasan adalah perintah untuk qiyam ramadhan dan motivasi (targhib) untuk mengerjakannya tanpa membatasi secara khusus dengan jumlah (rakaat) tertentu (Al-Maushu’ah al-Fiqhiyah 27/142-145). Syaikh Al-Munajjid menjelaskan diantara dalil yang jelas bahwa sholat lail termasuk di dalamnya sholat tarawih tidak dibatasi dengan jumlah rakaat tertentu adalah hadis riwayat Ibnu Umar bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sholat lail, Beliau SAW menjawab: Sholat lail itu dua rakaat-dua rakaat. Apabila seseorang khawatir (sudah tibanya) waktu subuh, maka sholatlah satu rakaat sebagai witir (HR. Bukhari 946 dan Muslim 749) (lihat pula al-Fiqh al-Manhaji ‘ala madzhab al-Imam asy-Syafi’i, 1/141 karya DR. Musthofa al-Khan, DR. Musthofa al-Bagha dan ‘Ali asy-Syarbajy, juga Majalah al-buhust al-‘ilmiyah 48/436).
Bagaimana cara mengerjakannya? Jika merencanakan untuk sholat sunnah lagi. Maka, pada saat sholat tarawih,berjama’ah tidak perlu ikut sholat witirnya. Namun, diakhirkan nanti setelah mengerjakan sholat lail, sebab Nabi SAW bersabda: “Akhiri sholat lail kalian dengan witir” (HR Bukhari 998 dan Muslim 751). Adapun jika antum sudah terlanjur mengerjakan witir, kemudian ingin melakukan sholat sunnah lagi, maka antum tetap boleh mengerjakannya, karena Imam Nawawi dan para ulama lain menjelaskan bahwa perintah Nabi dalam hadis di atas tidaklah bernilai wajib sebagai kemestian/keharusan (ilzam) namun hanya bersifat anjuran (mustahab) dan cara yang lebih utama (afdholiyah), karena dalam hadis shohih riwayat Muslim no. 738, Ibunda Aisyah ra menceritakan bahwa Nabi SAW pernah sholat sunnah 2 rakaat lagi dengan cara duduk padahal sebelumnya sudah sholat witir. Jadi, jika antum sudah witir, solusinya dengan memilih alternatif berikut:
1.    Antum mengerjakan sholat sunnah tambahan itu tanpa perlu membatalkan atau mengulangi sholat witir. Sebagaimana penjelasan dalam madzhab Hanafi, Maliki, Hambali dan pendapat yang populer (masyhur) dalam madzhab Syafi’i. Hal ini supaya tidak witir dua kali dalam satu malam (Hadis shohih riwayat Tirmidzi 2/224, Abu dawud no. 1439 dan Nasai no. 1679)
2.     Membatalkan sholat witir sebelumnya dengan sholat satu rakaat, baru antum sholat lail tambahan kemudian nanti ditutup dengan sholat witir. Ini adalah salah pendapat lain dalam madzhab Syafi’i dan riwayat dari Utsman bin Affan, Ali, Usamah, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. (Al-Maushu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 28/307)

Kamis, 26 Agustus 2010